Badrut

Badrut
Matraman

Sabtu, 14 Januari 2012


KONTRAK
PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
antara
CV. Maju jaya
dengan
Badrut Tamam,SH.MH
_________________________________________________________________
Nomor : bp/071009/2011
Tanggal : 09 oktober 2011

Pada hari ini selasa, tanggal 09 oktober 2011 kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Imam Nahrowi,SH.MH
Alamat : Jln. Karimata no 47 Blok C
Telepon : 087757527513
Jabatan : Menejer Pemasaran
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. Maju jaya dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan
Nama : Badrut Tamam
Alamat : Perum Algopuro no 55 Blok A
Telepon : 087857660005
Jabatan : Dosen UNMUH Jember
Dalam hal ini bertindak atas nama Pemilik atau Kuasa Pemilik dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang dimiliki oleh Pihak Kedua yang terletak di kawasan Perum Mandiri Land 2 Kaliwates
Pihak Pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pihak Kedua, dengan ketentuan yang disebutkan dalam pasal pasal sebagai berikut :
Pasal 1
Tujuan Kontrak
Tujuan kontrak ini adalah bahwa Pihak Pertama melaksanakan dan, menyelesaikan pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang berlokasi tersebut diatas.
Pasal 2
Bentuk Pekerjaan
Bentuk pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut :
1. Pekerjaan Perencanaan ( gambar kerja, spesifikasi material dan bahan, serta time schedule proyek ).
Terlampir Timeschedule Perencanaan no. bp/071009/2011, tertanggal 09 oktober 2011
2. Pekerjaan Bangunan ( pelaksanaan konstruksi bangunan, sesuai dengan spesifikasi material dan bahan yang akan dilampirkan oleh pihak pertama pada saat Pekerjaan Perencanaan selesai, dan telah disetujui oleh pihak kedua )

Pasal 3
Sistem Pekerjaan
Sistem pekerjaan yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebagai berikut :
1. Pihak kedua menggunakan system penunjukan langsung dengan memberikan anggaran biaya ( budget ).
Pihak Kedua memberikan anggaran biaya kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
2. Anggaran Biaya sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ) termasuk rincian :
a. Pekerjaan Perencanaan
b. Pekerjaan Bangunan
Dan tidak termasuk :
a. Pajak – pajak yang di timbulkan atas pelaksanaan pembangunan termasuk : Pajak kontraktor, pajak pribadi, pajak membangun sendiri dan lain-lain.
b. IMB ( Ijin mendirikan bangunan ) mulai dari tingkat klian banjar, lurah / kepala desa, camat dan pihak ciptakarya badung.
3. Pihak pertama berhak menentukan luasan ruang bangunan, spesifikasi bahan dan material bangunan, dan bentuk bangunan yang akan disesuaikan dengan anggaran biaya ( budget ) yang di berikan oleh pihak kedua.
Pasal 4
Biaya
Adapun biaya pembangunan rumah tinggal tersebut adalah Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
Pasal 5
Sistem Pembayaran
Pembayaran atas pekerjaan pembangunan tersebut diatas dilakukan dalam beberapa tahap yaitu :
Tanda Jadi :Tanda jadi sebesar Rp. 10.000.000 ( sepuluh juta rupiah ) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan perencanaan ( Pasal 2 ayat 1 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal 09 Oktober 2011
Downpayment pembayaran 30 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 630.000.000 (enam ratus tiga puluh juta rupiah) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan bangunan ( Pasal 2 ayat 2 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal 20 Oktober 2011
Tahap I pembayaran 25 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 525.000.000 (lima ratus dua puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan dinding dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal 20 Desember 2011
Tahap II pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan atap dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal 20 maret 2012
Tahap III pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan lantai dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal 20 Juni 2012
Pelunasan pembayaran 5% x Rp 2.100.000.000 = Rp. 105.000.000 dikurangi tanda jadi Rp. 10.000.000 menjadi Rp. 95.000.000 (sembilan puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan selesai.
yang harus dibayarkan pada tanggal 20 Juli 2012
Pembayaran tersebut harus dilakukan melalui transfer ke rekening :
Penerima : CV Maju jaya
Bank : Mandiri
No rekening : 112343-76767667-09099-0123

Pasal 6
Jangka Waktu Pengerjaan
Jangka waktu pengerjaan adalah 10 bulan, terhitung setelah kontrak ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pembayaran tahap pertama diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal 20 Oktober 2011
Apabila terjadi keterlambatan pengerjaan pembangunan dari waktu yang telah ditentukan, maka Pihak Pertama wajib membayar denda kepada Pihak Kedua sebesar Rp. 10.000/hari. ( Sepuluh ribu rupiah perhari ).
Pasal 7
Perubahan
Apabila pada waktu pengerjaan pelaksanaan konstruksi terdapat perubahan perubahan terhadap luasan, posisi dan bentuk serta penambahan material bangunan, diluar dari perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah Pihak, maka Pihak Kedua wajib membayar setiap perubahan pembongkaran dan pemasangan kembali yakni sebesar Rp. 100.000/M2. ( seratus ribu rupiah permeter persegi )
Pasal 8
Masa Pemeliharaan
  1. Masa pemeliharaan berlaku selama 3 bulan, setelah selesai
pekerjaan/serah terima hasil pekerjaan yang diikuti dengan penandatanganan berita acara penyerahan bangunan.
  1. Apabila dalam masa pemeliharaan tersebut terdapat kerusakan yang disebabkan bukan dari pekerjaan Pihak Pertama, maka Pihak Kedua tidak berhak menuntut Pihak Pertama untuk mengerjakannya.
Namun, Pihak Pertama dapat memperbaiki kerusakan tersebut sesuai dengan formulir perubahan dengan biaya yang ditanggung oleh Pihak Kedua sebesar Rp. 100.000/M2 ( termasuk biaya upah tukang & material ).
Pasal 9
Lain – Lain
Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan bersama- sama mematuhi dengan baik dan bertanggung jawab terhadap seluruh kesepakatan kerja yang telah disetujui.
Demikian Kontrak Kerja ini telah di setujui dan di tanda tangani untuk dilaksanakan dengan sebagai mana mestinya tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.


Pihak Pertama                                  Pihak Kedua

( Imam Nahrowi,SH.MH)                  (Badrut Tamam,SH.MH)
                                 CV. Maju jaya



Kamis, 05 Januari 2012

PRA PERADILAN DALAM HUKUM INDONESIA PDF Cetak Email
Ditulis oleh Tito Eliandi, SH.   
        Akhir – akhir ini kajian mengenai pra peradilan begitu mengemuka. Banyaknya persoalan hukum yang menjadi isu nasional, membuat perkara pra peradilan menarik perhatian masyarakat, diantaranya adalah di kabulkannnya permohonan pra peradilan Anggodo oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan serta akan diajukannya pra peradilan oleh Susno Duaji, Mantan Kabareskrim yang saat ini menjadi tersangka kasus suap.
Pra peradilan yang lama tidak pernah muncul, mulai menjadi bahan kajian kembali bagi ahli hukum terutama berkaitan dengan efektifitas pra peradilan  melindungi HAM dalam tindakan upaya paksa aparat hukum, serta perdebatan mengenai perlu tidaknya pra peradilan diganti dengan peran hakim komisaris sebagaimana tercantum dalam RUU KUHAP. Banyak pihak menganggap pra peradilan masih di perlukan dalam perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) dari kesewenang – wenangan hukum penguasa serta untuk menguji seberapa jauh aturan hukum acara pidana telah di jalankan aparat hukum.

Arti pra peradilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus dan memutus :
  • Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;
  • Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Secara limitattif umumnya mengenai pra peradilan diatur dalam pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra peradilan tetapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP.
Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP adalah  memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata – mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan.
Ganti kerugian diatur dalam Bab XII, Bagian Kesatu KUHAP. Perlu diperhatikan dalam pasal 1 butir 22 menyatakan “ Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur undang – undang ini. Beranjak dari bunyi pasal diatas, dapat ditangkap dengan jelas bahwa ganti rugi adalah alat pemenuhan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kenikmatan berupa kebebasan karena adanya upaya paksa yang tidak berdasar hukum. Kiranya sangat tepat jika negara bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi, sebab tindakan upaya paksa tentu dilakukan oleh aparat hukum yang merupakan bagian dari negara.
Dalam Bab X Bagian Kesatu mulai  pasal 79 sampai dengan pasal 83 KUHAP diatur  pihak – pihak yang dapat mengajukan pra peradilan adalah :
  • Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan;
  • Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah lam  atau tidaknya penghentian penyidikan;
  • Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan;
  • Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81 KUHAP);
  • Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP).
Khusus dalam hal pra peradilan yang dilakukan oleh penyidik terhadap penghentian penuntutan atau penuntut umum terhadap penghentian penyidikan hendaknya di pahami bukan untuk mencampuri urusan kewenangan masing – masing kelembagaan tetapi lebih di pahami sebagai kontrol mekanisme penegakan hukum acara. Peran serta masyarakat baik itu melalui LSM maupun secara individu juga mutlak di perlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Dalam pasal 80 KUHAP, pengertian pihak ketiga  yang berkepentingan dalam mengajukan pra peradilan tentang penghentian penyidikan atau penuntutan, sering diartikan hanya sebatas saksi pelapor atau saksi korban tindak pidana. Kedepan pengertian itu perlu diperluas dengan melibatkan masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan. M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP menyatakan perlunya LSM atau organisasi kemasyarakatan di beri ruang sebagai pihak untuk mengajukan pra peradilan. Sebagai lembaga yang bertujuan mengawal penegakan hukum, jika tujuan mem pra peradilankan penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan adalah untuk mengkoreksi atau mengawasi kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak untuk melibatkan masyarakat luas yang di wakili LSM atau organisasi kemasyarakatan dapat di terima dalam proses pengajuan pra peradilan.
Pengajuan pra peradilan di lakukan di pengadilan negeri, dengan membuat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk nantinya di register dalam register khusus tentang pra peradilan. Dari permohonan tersebut, sesuai ketentuan pasal 78 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk seorang hakim tunggal untuk memeriksa perkara pra peradilan dengan dibantu dengan seorang panitera. Untuk penetapan hari sidang sesuai dengan pasal 82 ayat (1) huruf c mensyaratkan untuk segera bersidang 3 hari setelah di catat dalam register dan dalam tempo 7 hari perkara tersebut sudah harus di putus, sedangkan untuk pemanggilan para pihak dilakukan bersamaan dengan penetapan hari sidang oleh hakim yan ditunjuk. Tata cara maupun bentuk putusan dalam pra peradilan tidak diatur dalam ketentuan khusus dalam KUHAP. Sesuai dengan sifat cepat dan sederhananya proses persidangan, hendaknya hakim dapat meyesuaikan dalam melaksanakan proses persidangan maupun putusan. M. Yahya Harahap menegaskan bertitik tolak dari pasal 82 ayat (1) huruf c yang mengatur pengajuan dan tata cara pemeriksaan pra peradilan,  hakim diminta untuk tegas menentukan tahapan persidangan pra peradilan dan membuat putusan sesederhana mungkin atau bisa di gabung dengan Berita Acara Sidang asalkan putusan memuat pertimbangan hukum yang lengkap, jelas dan memadai. Memperhatikan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi “ Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur” maka pra peradilan dianggap gugur apabila :
  • Perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan ;
  • pada saat perkaranya di periksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan pra peradilan belum selesai.
Ketentuan pra peradilan gugur apabila pokok perkara telah masuk di Pengadilan Negeri, di maksudkan untuk menghindari penjatuhan putusan yang berbeda. Tidak tepat kiranya apabila pra peradilan tetap di periksa sementara perkara pokoknya telah masuk juga dalam tahap persidangan. Tentunya jika di paksakan bersidang dan terjadi perbedaan penjatuhan putusan antara pra peradilan dengan perkara pokok, akan menimbulkan akibat hukum yang tidak baik. Gugurnya permohonan pra peradilan dapat juga di lakukan oleh pihak pemohon ketika sidang belum menjatuhkan putusan, asalkan hal tersebut di setujui termohon.
Putusan pra peradilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding. kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi “ Terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat di mintakan banding”, sedangkan pasal 83 ayat (2) berbunyi :
  • terhadap putusan yang menetapkan “sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “tidak dapat” diajukan permintaan banding;
  • terhadap putusan yang menetapkan “tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “dapat” diajukan permintaan banding;
  • Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus “dalam tingkat akhir”.
Ketentuan pasal 83 ayat (1) tidak dimaksudkan untuk membatasi keinginan para pihak mencari keadilan tetapi justru dimaksudkan untuk mewujudkan “acara cepat” dan mewujudkan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat, sebagaimana dasar pra peradilan, sebab dalam pasal 83 ayat (2) proses banding ke PT pun merupakan upaya terakhir dan final serta tidak dikenal upaya kasasi pra peradilan ke Mahkamah Agung (MA).
Pra peradilan adalah hal biasa dalam membangun saling kontrol antara kepolisian, kejaksaan dan tersangka melalui kuasa hukumnya. Tidak usah suatu proses pra peradilan di tanggapi dengan kecurigaan bahwa antara lembaga hukum akan saling menjatuhkan.  Dalam suatu negara hukum, saling kontrol adalah suatu hal lumrah untuk menghindari kesewenang – wenangan penerapan upaya paksa (penangkapan dan penahanan) atau penghentian penyidikan dan penuntutan (SP 3 dan SKPPP) secara tidak beralasan apalagi diam – diam. Upaya kontrol itu perlu sebagai peningkatan kinerja di lembaga penegak hukum, serta untuk membangun kembali citra penegak hukum yang saat ini telah terpuruk. Oleh sebab itu semua proses pra peradilan harus dapat diterima dengan lapang dada, begitu pula dengan putusan yang di hasilkan pra peradilan. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus mampu bekerja sama  menampilkan hukum yang pasti, jelas dan memadai. Kepastian hukum akan membuat keadaan negara harmonis dan pencari keadilan merasa terlindungi.

Daftar Pustaka : 
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Sinar Grafika, 2001).

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat lingkungan Peradilan ( Buku II, edisi 2007).

R. Soesilo, M. Karjadi, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Politeia Bogor, 1987).

Senin, 02 Januari 2012

PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PERSPEKTIF KONTROL YUDISIAL

PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DALAM PERSPEKTIF KONTROL YUDISIAL
(Oleh : Prof.Doc.Badrut Tamam ,SH.MH*)
A. Pendahuluan

UUD 1945 (sebelum maupun sesudah perubahan) mengintrodusir konsep negara hukum berdasar Pancasila, maka pemerintah diwajibkan menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam pembukaannya. Dalam konsep negara kesejahteraan (Welfare State), tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan saja menjaga keamanan semata-mata melainkan juga secara aktif turut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut diperlukan pemerintahan yang efektif, kuat dan bersih, serta kemerdekaan bertindak administrasi atas inisiatif sendiri, salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Adanya kemerdekaan bertindak admnisitrasi atas inisiatif sendiri ini tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pemerintah dan warga masyarakat, bahkan pelanggaran terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata, sehingga diperlukan penyelesaian dan atau pengawasan yudisial oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan menilai suatu KTUN itu melanggar atau tidak terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata tadi. Dalam melakukan pengawasan yudisial ini menurut Kuntjoro Purbopranoto (1982: 29), berdasarkan hukum tak tertulis, dapat dilakukan melalui penormaan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai yang telah pernah disosialisasikannya, dimana menurut pendapat-nya, selain asas pemerintahan yang layak dari Crince Le Roy sebanyak 11 butir, juga ditambah dengan asas kebijaksanaan dan asas peyelengaaraan kepentingan umum.
____________
* Dosen tetap STIH Muhammadiyah Kotabumi
Adapun asas pemerintahan yang layak menurut Crince Le Roy, dalam rangkuman kuliahnya pada penataran lanjut Hukum Tata Usaha Negara Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Airlangga tahun 1978, meliputi asas-asas; kepastian hukum, keseimbangan, bertindak cermat, motivasi, tidak boleh mencampuradukan kewenangan, kesamaan dalam pengambilan keputusan, permainan yang layak, keadilan atau kewajaran, menanggapi penghargaan yang wajar, meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal dan perlindungan atas pandangan hidup pribadi (SF. Marbun, 2002: 206)
Semula implementasi AAUPB dicarikan landasannya pada pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999, dan pasal 53.2 sub c UU No. 5/1986. Namun dalam perkembangannya telah diformulasikan adanya asas-asas umum pemerintahan negara yang baik melalui UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka kiranya Peradilan Tata Usaha Negara dapat menggunakan momentum ini untuk mengefektifkan fungsi kontrolnya terhadap Pemerintah dalam rangka menegakkan supremasi hukum. Kontrol yudisial harus diletakkan sebagai premis untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat dan bersih. Melalui kontrol yudisial yang efektif dapat ditemukan value mengenai prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih.
Berdasarkan pada uraian di atas, bahwa untuk mencegah agar kebebasan yang dimilki pemerintah dalam menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum di negara hukum berdasar Pancasila tidak menjurus kearah tindakan kesewenang-wenangan yang disebut dengan detournement de pouvoir atau ultra vires, maka diperlukan sistem pengawasan, guna memberikan perlindungan, baik bagi warga masyarakat maupun bagi sikap tindak pemerintah itu sendiri. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini, bagaimanakah Hukum dan Kekuasaan suatu Peradilan Tata Usaha Negara dapat melakukan kontrol yudisial terhadap Keputusan Tata Usaha Negara ?
B. Landasan dan Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara
Sesungguhnya usaha ke arah pembentukan Undang-undang tentang peradilan tata usaha negara ini telah lama dirintis, baik oleh pihak pemerintah, yudikatif maupun organisasi profesi. Berikut di kemukakan secara singkat beberapa hal yang berkenaan dalam usaha-usaha tersebut.
Konsep dasar dari pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat dipisahkan dari introduksi FJ. Stahl, seorang sarjana dari Jerman, tentang Konsep Negara Hukum (Rechstaat), dimana sebagai negara hukum harus memiliki unsur-unsur yaitu; (a) mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, (b) untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politica, (c) yang dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang, dan (d) apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah masih melanggar hak asasi maka diperlukan adanya peradilan administrasi yang akan menyelesaikannya (SF. Marbun, 2002: 7).
Adanya peradilan administrasi (Tribunal Administratif), yang menurut G. Braibant, cs., dalam bukunya yang berjudul Putusan-putusan Utama dalam Yurisprudensi Peradilan Administrasi, maka peranannya terlihat melahirkan norma-norma yang berlaku dalam bidang peradilan administrasi, mulai dari cara mengajukan gugatan, mengenai materi yang digugat, saat mengajukan gugatan dan jangka waktu mengajukan gugatan, sifat pemeriksaan, kekuasaan atau wewenang hakim dan sebagainya sampai kepada pelaksanaan putusan (Benyamin M., 1982: 67).
Lembaga peradilan tersebut, pada pokoknya, bertugas memeriksa dan mengadili hal-hal yang sangat menyentuh rasa keadilan bagi warga masyarakat, bahkan di Perancis lembaga ini merupakan “Les protecteurs des Citoyen” yang berarti “pelindung daripada warga masyarakat”, namun tidak berarti bahwa setiap pengaduan itu atau gugatan terhadap administrasi/ pemerintah oleh warga masyarakat dapat diajukan ke muka hakim peradilan tata usaha negara. Hal-hal yang terletak dalam hukum privat tetap jadi wewenang hakim perdata di muka pengadilan negeri (Benyamin M., 1982: 65).
Di negara kita, usaha pembentukan lembaga Peradilan Administrasi dapat dlihat mulai tahun 1960, berdasarkan Tap MPRS No. II/MPRS/ 1960, oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) telah disusun Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Peradilan Administrasi, namun tidak sempat diajukan ke lembaga legislatif, sehingga pada tahun 1964, dengan diundang-kannya Undang Undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam pasal 7 ayat (1) yang mencantumkan Peradilan Tata Usah Negara merupakan salah satu lingkungan pengadilan, maka sebagai usaha melaksanakan ketentuan pasal tersebut, LPHN menyusun kembali Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian dapat disahkan dalam sidang plenonya pada tanggal 10 Januari 1966, yang selanjutnya pada tahun 1967, DPRGR mengajukan usul inisiatif mengenai Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Tata Usah Negara.
Pada tahun 1970, diundangkan Undang Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang meng-gantikan Undang Undang No. 19 tahun 1964, dimana dalam pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan antara lain peradilan tata usaha negara. Demikian pula dalam repelita II, ditetapkan perlunya dibentuk peradilan administrasi, maka diadakan usaha untuk membuat persiapan penyusunan undang-undang peradilan tata usaha negara. Sehubungan hal ini, Departemen Kehakiman dengan kerjasama UNPAD, mengadakan penelitian mengenai peradilan administasi negara. Demikian pula Persahi dalam Munas di Prapat pada tahun 1972 telah membahas permasalahan peradilan administrasi negara di Indonesia.
Dengan dicantumkannya RUU Peradilan Administrasi dalam Repelita, yang kemudian dimuat dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978 menetapkan bahwa perlu diusahakan terwujudnya peradilan tata usaha negara, maka usaha kearah penyusunan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara makin mendekati hasil yang nyata. Untuk merealisir Ketetapan MPR tersebut BPHN menyusun naskah akademis tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara peradilan tata usaha negara. Sementara itu Menteri Kehakiman membentuk Panitia Interdepartemen Penyusunan RUU Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan mendasarkan naskah tersebut, dan dari bahan hasil simposium, maka panitia menyusun RUU tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian pada tanggal 28-30 November 1978, Mahkamah Agung mengadakan lokakrya mengenai hubungan Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan tata usaha negara (Benyamin M., 1982: 126-127).
Setelah melalui proses panjang, dari uraian diatas selama lebih 22 tahun, gagasan penyusunan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dilakukan baik oleh pihak eksekutif, yudikatif, dan perguruan tinggi maupun dari kalangan profesi, maka baru pada tanggal 29 Desember 1986 dibentuk dan diundangkannya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344). Undang-undang inipun baru bisa diterapkan secara efektif setelah selama 5 tahun mengalami “slapende regeling”, dengan dikeluarkanya PP (Peraturan Pemrintah) No. 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5 tahun 1986, yang dituangkan dalam LN 1991 No. 8 pada tanggal 14 Januari 1991 (W Riawan Tjandra, 2002: 5)
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang berwenang untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud pada pasal-pasal; 1 butir (b,c,d), 3, 47, 53, dan 97 ayat (9) UU No. 5/1986. Dalam pasal 1 butir b disebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang me-laksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan butir c-nya menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingakt pusat maupun di tingkat daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktek, adanya kontrol ini sering juga dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala suatu bentuk tindakan atas penyimpangan tugas pemerintahan yang dilakukan dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundangan. Memang disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan urusan pemerintahan (Martiman P., 1993: 12), memberikan pengayoman (Sjachran Basah, 1985: 4), sarana pemelihara ketertiban dan stabilisator hukum (Sunaryati H., 1975: 8).
Hal yang demikian ini, maka dapat pula dikatakan adanya maksud dari fungsi hukum, sebagaimana yang dikemukakan Sjahran Basah, bahwa dalam kehidupan masyarakat yang conditio sine quanom, fungsi hukum adalah sebagai;
a. Direktif, yaitu sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara,
b. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa,
c. Stabilitatif, yaitu sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
d. Perfektif, yaitu penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan (SF. Marbun, 2002: 268).
Hukum yang disebutkan di atas mempunyai makna yang sangat luas, termasuk dalam pengertian pengendalian, pencegahan dan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya segala suatu bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki penyimpangan yang terjadi (represif).
Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara Pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (Orang atau Badan Hukum Perdata) sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
C. Pengawasan Yudisial Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagaimana pernah dikemukakan terdahulu bahwa dalam konsep negara kesejahteraan (Welfare State), maka tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan hanya semata-mata menjaga keamanan, melainkan juga secara aktif turut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut, dalam melakukan tindakannya, pemerintah memerlukan keleluasaan (Freies Ermessen, Discretionair) dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, dimana salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Akan tetapi dalam suatu negara hukum adalah menjadi suatu syarat bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, artinya sikap tindak pemerintah tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Oleh karena sendi-sendi negara hukum tetap harus dipertahankan, dan agar pada satu sisi tindakan pemerintah itu, dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak keluar dari jalur negara hukum dan pada sisi lain warga negara atau masyarakat tetap dijamin perlindungan hak-hak asasinya, maka diperlukan sistem pengawasan.
Dalam sistem ketatanegaraan di negara kita sesungguhnya sistem pengawasan terhadap perbuatan pemerintah dapat dilakukan dari dan atau oleh beberapa pihak, yaitu; instansi pemerintahan yang lebih atas, instansi yang mengambil keputusan itu sendiri, masyarakat melalui perwakilan (DPR RI/DPRD), instansi yang khusus ditunjuk untuk mengadakan pengawasan, dan juga peradilan tata usaha negara.
Dari beberapa pihak dan cara pengawasan tersebut di atas maka dapat dirinci dalam beberapa segi sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi kedudukan suatu badan atau organ yang melaksanakan pengawasan:
a. pengawasan intern,
b. pengawasan ekstern.
2. Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya:
a. pengawasan preventif (a-priori),
b. pengawasan represif (a posteriori).
3. Pengawasan dari segi hukum (SF. Marbun, 2002: 268-269).
Meskipun demikian, berkenaan dengan hal sebagaimana rumusan masalah yang ingin dikemukakan dalam makalah ini, maka penulis hanya akan menguraikan pengawasan dari segi hukum dimana terhadap perbuatan pemerintah yang merupakan pengawasan dari segi rechtmatigheid, pengawasan yang merupakan penilaian sah atau tidaknya suatu perbuatan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum.
Dalam praktek diberbagai negara, sekalipun pokok sesungguhnya di-semua negara itu serupa, tetapi perkembangan serta pemecahan tentang pengawasan dan perlindungan hukum bagi warga negara masyarakat di masing-masing negara pada akhirnya menunjukkan perbedaan baik dalam bentuk maupun sistemnya. Perbedaan tersebut pada prinsipnya berkaitan dengan unsur utama dari negara hukum, bahwa tindakan pemerintahan itu haruslah berdasarkan hukum yang berlaku. Sehingga dalam praktek timbul pertanyaan kaidah hukum apakah yang harus diterapkan di dalam menilai tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Apakah hukum perdata yang berlaku bagi setiap orang ataukah hukum administrasi yang bersifat otonom.
Sedangkan perbedaan dalam sistem, karena ada negara yang menganut duality of jurisdiction dan ada pula yang menganut unity of juris-diction, disamping negara-negara yang menganut sistem yang berbeda dari keduanya. Kesemuanya berkaitan dengan pertanyaan kepada organ manakah yang diberi wewenang memberikan penilaian dan pemeriksaan tersebut. Ada yang memberikan wewenangnya kepada organ peradilan umum dengan menetapkan hukum perdata, ada negara yang memberikan wewenangnya kepada organ peradilan khusus yang disebut peradilan administrasi negara, disamping organ lainnya (SF. Marbun, 2002: 275).
Di negara kita, dengan terbentuknya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai implementasi dari pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 (jo. UU No. 35 tahun 1999 jo. UU No. 4 tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman, terlihat adanya peradilan administrasi sebagai bahagian dari kekuasaan kehakiman, dengan nama Peradilan Tata Usaha Negara, yang merupakan peradilan khusus. Dibentuknya lembaga ini dimaksudkan unutk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu, memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Demikian yang tersirat dalam Penjelasan Umum angka ke-1 Undang-undang tersebut.
Selanjutnya dalam penjelasan umum tersebut menyebutkan bahwa hukum acara yang digunakan pada peradilan mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain;
a) pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran material dan untuk Undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas;
b) suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Dari perbedaan tersebut tampaklah spesifikasi dari hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dalam asas-asas yang menjadi landasan normatif operasionalnya, yaitu:
a) asas aktifitas hakim, dimana hakim diwajibkan secara aktif untuk meng-imbangi kedudukan para pihak (tergugat dan penggugat), sebagaimana dalam pasal-pasal; 58, 63 ayat (1, 2), 80, 85.
b) asas praduga rechtmatig, bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap sebagai keputusan yang sah sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, sebagaimana pasal 67 ayat (1).
c) Asas pembuktian bebas, dimana hakim yang menentukan beban pembuk-tiannya, sebagaimana dalam pasal 107.
d) Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.
Dengan demikian, dari spesifikasi tersebut, terdapat ciri-ciri khusus didalam memberikan penilaian atau melakukan kontrol bagi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan hukum Pemerintah dalam bidang hukum publik, yaitu:
a) sifat atau karakteristik dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang selalu mengandung asas “prasumtio iustae causa”, yaitu bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan,
b) asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu,
c) asas self respect dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita, seperti halnya dalam prosedur perkara perdata.
Dalam UU No. 5 tahun 1986 tidak menganut prinsip actio popularis, yaitu suatu prinsip yang memberikan hak menggugat kepada setiap orang atau setiap penduduk, melainkan orang atau badan hukum perdata kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan, atau tidak dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau badan hukum perdata.
Suatu obyek sengketa Tata Usaha Negara, untuk dapat diuji melalui Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Hans Kelsens, adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kriteria;
1) Secara substansil, merupakan penetapan tertulis yang harus jelas;
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkan,
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu,
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalam-nya.
2) Dari segi pembuatnya, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan pemerintahan).
3) Wujud materiilnya, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, yaitu tindakan hukum Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
4) Dari segi sifatnya, adalah kongkrit, individual dan final.
5) Dari segi akibatnya, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (W. Riawan Tjandra, 2002: 13).
Untuk menentukan segi pengujian yuridis terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam sengketa Tata Usaha Negara harus dilihat pula peraturan perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya; mengenai penggunaan upaya administratif (pasal 48) ditentukan untuk melihat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan apakah terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif (penjelasan pasal 48 ayat 1). Hal ini berkaitan dengan pasal 48 ayat 2 yang menegaskan bahwa pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana di maksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat 1 telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan (penjelasan pasal 48 ayat 2).
Konsiderans yuridis dari setiap keputusan menunjukkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan. Untuk itu dalam menentukan pengujian atau kontrol yuridis terhadap keputusan harus diperhatikan konsiderans yuridis Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa. Kontrol yudisial terhadap tindakan hukum tata usaha negara ini dilakukan dengan pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara oleh Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki karakteristik sebagai suatu ekternal control, bersifat represif dan pada dasarnya hanya menilai segi legalitas tindakan Pemerintah dalam bidang hukum publik.
Dengan demikian, nampak karakteristik kontrol yudisial yang dilakukan oleh badan peradilan dalam hukum administrasi, yang menurut PE. Lotulung (1993: xviii) meliputi;
a) ekstern, karena dilakukan oleh suatu lembaga di luar pemerintahan,
b) posteriori, yaitu karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol, legalitas atau kontrol segi hukum, karena hanya menilai dari segi hukum saja.
Pengujian aspek legalitas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara ini, menyangkut masalah keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka Van der Pot mengemukakan ada 4 (empat) syarat yang harus di penuhi, yaitu:
1) Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya,
2) Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak, maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis,
3) Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya, dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut,
4) Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. (Utercht, 1986: 117-118)
Sedangkan Van der Wel, membagi syarat-syarat keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dalam dua golongan, yaitu;
1) Syarat-syarat materiil, yang meliputi:
a. alat negara yang membuat ketetapan harus berkuasa.
b. dalam kehendak alat negara yang membuat ketetapan tidak boleh ada kekurangan.
c. ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu.
d. ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, menurut isi dan tujuannya sesuai dengan peraturan lain yang menjadi dasar ketetapan itu.
2) Syarat-syarat formil, terdiri atas:
a. syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.
b. ketetapan harus diberi bentuk yang ditentukan.
c. syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan dilakukannya ketetapan harus dipenuhi.
d. jangka waktu yang ditentukan: antara timbulnya hal-hal yang menye-babkan dibuatnya ketetapan dan diumumkannya ketetapan itu, tidak boleh dilewati (W. Riawan Tjandra, 2002: 28).
Berhubung dalam hukum administrasi negara kedudukan para pihak tidak terdapat kesamaan, karena Rakyat selalu dalam kedudukan sebagai pihak yang relatif lemah berhadapan dengan pihak yang relatif lebih kuat yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, oleh karena itu, Hakim Tata Usaha Negara harus ditempatkan atau menempatkan dalam posisi aktif dalam memimpin persidangan. Sehingga dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat asas keaktifan hakim (dominus litis) untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak, yang antara lain diimplementasikan dalam pasal 58, pasal 63 ayat (1,2) dan pasal 85 Undang Undang No. 5 tahun 1986 (Hadjon, 1994: 313).
Dalam pasal-pasal tersebut diantaranya dapat dikemukakan rumusannya sebagai berikut ;
- Pasal 58; “Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa”.
- Pasal 63 ayat (1); “Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas”.
- Pasal 63 ayat (2); “Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Karakteristik ekstern diatur dalam pasal 5, 6, 8, 9, 10 dan 13 (2) UU No. 5/ 1986 jo pasal 11 UU No. 35/1999. Selain itu, pasal 11 ayat 1 UU No. 43/1999 yang mendudukan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan sebagai Pejabat Negara, telah memberikan jaminan kebebasan bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam menjalankan fungsi kontrol yudisial terhadap produk-produk keputusan tata usaha negara dari suatu badan atau pejabat tata usaha negara.
Kontrol a posteriori ditampakkan dari keharusan sudah dikeluarkan-nya KTUN yang bersifat konkrit, individual dan final oleh badan atau pejabat TUN (pasal 1(3)). Sebab, jika KTUN yang digugat belum sempat ditetapkan atau belum mengikat berdasarkan pasal 62 ayat (1) sub a akan di-dismissed (niet ontvantkelijkverklaard atas alasan gugatan prematur).
Kontrol Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (rechtmatigheid) dari segi hukum, bukan dari sisi pertimbangan kebijaksanaan pemerintah (doelmatigheid). Semboyannya dalam hal ini mengatakan bahwa, “Hakim itu dilarang duduk di kursi pemerintah”, artinya walaupun hakim itu tidak sependapat dengan kebijak-sanaan yang ditempuh tersebut, atau sebaliknya kalaupun ia sangat menyetujui kebijaksanaan yang dilakukan dalam keputusan yang digugat itu, ia tetap harus menguji dari segi hukum, apakah keputusan yang bersangkutan itu bersifat melawan hukum atau tidak” (Indroharto, 1993: 166).
Satu hal yang telah diterima sebagai suatu asas umum, adalah bahwa pengawasan atas bijaksana atau tidaknya suatu tindakan pemerintah itu tidak dapat diserahkan kepada hakim, tetapi tetap berada ditangan pemerintah itu sendiri. Dengan kata lain dalam hal beleid pemerintah, hakim tidak dapat mengadakan penilaian, karena hal itu akan mendudukan hakim pada kursi eksekutif (Utrecht, 1986: 127).
Oleh karena itu, penilaian Hakim Tata Usaha Negara terhadap keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, menurut Indroharto, (1993: 167) dilakukan dengan cara;
a) menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang mendasarkan dikeluarkannya, dan
b) pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan dasarnya dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut walaupun barangkali setelah Keputusan Tata Usaha Negara itu ditetapkan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan pasal 53 ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 menyebutkan tentang dasar pengujian dan dasar pembatasan pengadilan dalam menilai suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu apakah mengandung sifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian dinyatakan batal atau tidak. Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan bahwa pengujian Hakim Tata Usaha Negara dari segi hukum terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan, itu dilakukan hanya dengan cara;
a) melihat fakta yang relevan yang telah dikumpulkan, dan
b) mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan dasarnya.
Kemudian diuraikan lebih lanjut, bahwa pengujian dari segi hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara demikian itu terbatas pada penelitian;
1) apakah semua fakta yang relevan itu telah dikumpulkan untuk ikut dipertimbangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang bersang-kutan.
Contoh: dalam hal keputusan yang digugat itu dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap, maka keputusan yang demikian itu telah terjadi atas kemauan sendiri, bukan atas dasar hukum, sehingga merupakan keputusan yang bersifat sewenang-wenang.
2) apakah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan pada waktu memper-siapkan, memutuskan dan melaksanakannya, telah memperhatikan asas-asas yang berlaku.
Contoh : Keputusan seorang pegawai negeri dengan alasan kesehatan, yang tidak dilengkapi dengan pendapat Dewan Pertimbangan Kesehatan Pegawai.
3) apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan yang sedang digugat kalau hal-hal tersebut pada angka 1 dan angka 2 telah diperhatikan.
Contoh : Menurut pasal 7 ayat (2), Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah (P4D) wajib memberikan perantaraan ke arah penyelesaian secara damai dalam suatu perselisihan perburuhan dengan jalan mengadakan perundangan dengan kedua belah pihak. Apabila perantaraan P4D itu dilakukan dengan cara berat sebelah atau tidak jujur, maka keputusan yang diambil mengenai perselisihan itu dapat dianggap sebagai keputusan sewenang-wenang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penanganan perkara atau sengketa di pengadilan senantiasa berawal dari langkah induksi yaitu yang berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat (causalitasnya) dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, maka hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-fakta yang ditemukan telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum ini diawali dengan melakukan identifikasi aturan hukum, yang sering dijumpai keadaan aturan hukum, dan dengan metode mengatasinya sebagai berikut:
1) jika terjadi kekosongan hukum, maka dilakukan rechtsvinding yaitu dengan interpretasi undang-undang dan/atau konstruksi,
2) jika terjadi konflik antar norma hukum, maka menggunakan asas-asas penyelesaian konflik dengan lex posterior derogat legi priori, dan/atau lex specialis derogat legi generali, dan/atau lex superior derogat legi inferior. Yang selanjutnya dengan langkah-langkah pengingkaran, penafsiran kembali, pembatalan atau pembetulan,
3) jika norma hukumnya kabur (tidak jelas), maka dengan penemuan hukum bebas.
Sesuai dengan asas contrarius actus, kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menyatakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebagai tidak sah dan pencabutannya harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pembuat keputusan TUN tersebut, demikian sebagaimana yang dimaksud pada UU No. 5/1986 pasal 53 ayat (1) yang berbunyi “…agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,…”, dan pasal 97 ayat (8), yang menyatakan “Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara”, dan ayat (9) berbunyi “Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
Inisiatif untuk mentaati kewajiban pencabutan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan tidak sah oleh Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan asas self respec atau self obidence, harus berasal dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri, demikian yang tersirat dari maksud pasal 116 UU No. 5/1986. Justru disini bisa timbul persoalan hukum jika tidak didukung oleh komitmen pemerintah untuk turut mendukung terwujudnya supremasi hukum.
Menurut Geelhoed (Hirsch Ballin, 1991: 77-78) terdapat beberapa fungsi yang dijalankan oleh pemerintah dalam suatu sociale rechstaat, yaitu: orednende functie, arbitrende functie, strurende functie dan presterende functie. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, terdapat beberapa macam tindak administrasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu:
1) penetapan (beschikking),
2) rencana (plan),
3) norma jabaran (concrete normgeving), dan
4) legislasi semu (pseudo wetgeving) (Prajudi, 1986: 125).
Terhadap istilah ligislasi semu, Hadjon (1994: 125) menggunakan istilah peraturan kebijaksanaan sebagai padanan dari beleidsregel, Bagir Manan (1987: 168) menggunakan istilah ketentuan kebijakan.
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam melakukan kontrol yudisial terhadap produk-produk hukum Tata Usaha Negara dibatasi hanya terhadap Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir c UU No. 5/ 1986, yang berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perata”. Itupun masih di kecualikan untuk tidak menilai Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam pasal 2 dan 49-nya.
Pasal 2 UU No. 5/ 1986, menyebutkan “ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemerik-saan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Kemudian pasal 49 UU No. 5/ 1986 menentukan “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keada-an luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-ndangan yang berlaku.
Sedangkan terhadap produk hukum Tata Usaha Negara, seperti norma jabaran (concrete normgeving), maka tunduk pada pengujian secara materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung jika by case melalui suatu pasal 26 UU No. 14 tahun 1970 via pemeriksaan tingkat kasasi atau dapat juga melalui prosedur Perma No. 1 tahun 1993 tanpa harus ada sengketa terlebih dahulu.
Untuk rencana (plan) jika produknya dituangkan dalam suatu norma jabaran dapat pula mengikuti prosedur uji materiil. Hanya untuk legislasi semu belum ada pengaturan spesifik bagaimana pengawasan terhadapnya dapat dilakukan, sebab menurut Hadjon (1994: 154) peraturan kebijaksanaan terletak dalam dunia fakta dan tidak dapat berperan dalam kasasi. Namun identifikasi Bagir Manan menunjukkan bahwa peraturan kebijakan dapat mengambil bentuk serupa dengan peraturan perundang-undangan seperti peraturan atau keputusan (1987: 171), oleh karena itu pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarahkan pada aspek doelmatigheidnya, sedangkan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara hanya dari segi aspek rechmatigheid suatu keputusan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat menguji peraturan kebijaksanaan dari segi hukumnya .
Sementara itu, saat ini kadar penggunaan fries ermessen yang di tuangkan dalam peraturan kebijaksanaan semakin meningkat, bagaimana pengawasan terhadap peraturan kebijaksanaan dapat dilakukan secara efektif, dan siapa yang tepat melakukan penilaian jika Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan untuk melakukan kontrol yudisial terhadapnya. Nilai yang seharusnya dijadikan pedoman bagi Peradilan Tata Usaha Negara adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
D. Pengaruh Kontrol Yudisial
Konsepsi AAUPB versi Crince le Roy yang meliputi: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas bertindak cermat, asas motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintah, asas tidak boleh mencampuradukan kewenangan, asas kesamaan dalam pengambilan keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal dan asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, Koentjoro (1982: 29-30) menambahkan dua asas lagi, yaitu; asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum.
AAUPB yang telah mendapat pengakuan dalam praktek hukum di Belanda, yaitu; asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan (motivasi), larangan penyalahguna-an wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang (Hadjon, 1994: 270)
Hakim Tata Usaha Negara dapat menemukan dan merumuskan AAUPB yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi pemerintah dalam melaksanakan kewenangan Tata Usaha Negaranya. Tahapan penerapan AAUPB yang disebut juga asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), menurut Hamidi (1999: 92), adalah sebagai berikut:
1) Tahap pengumpulan fakta, meliputi; proses administratif, merumuskan fakta, melakukan pembuktian. Tahap ini sering disebut tahap meng-konstantir
2) Tahap mengidentifikasikan hukum, terdiri atas; penilaian/pengujian fakta, kualifikasi hukum, proses penerapan hukum. Tahap ini disebut tahap mengkualifisir.
3) Tahap merumuskan AAUPL, dimana setelah membuat pertimbangan hukum, menentukan AAUPL yang dilanggar, menjatuhkan putusan. Tahap ini disebut tahap mengkonstituir.
Pada tahapan mengkonstantir di atas merupakan langkah induksi, sedangkan pada tahapan mengkualifisir dan mengkonstituir merupakan langkah deduksi.
Sesungguhnya keberadaan AAUPB telah terakomodasi dalam pasal 53 ayat (2) sub b dan c UU No. 5/ 1986, yaitu larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. Diluar yang telah diatur tersebut, Hakim TUN secara yurisprudensial dapat membentuk hukum untuk menetapkan berlakunya suatu AAUPB yang mengikat bagi pemrintah. Pembentuka AAUPB harus bertitik tolak dari fakta-fakta sengketa TUN seputar kebenaran materiil pembentukan suatu keputusan TUN melalui konstatasi, kualifikasi dan konstitusi.
Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secarra normatif telah merumuskan asas umum pemerintahan negara yang baik sebagaimana dirumuskan di dalam pasal 3, yaitu asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Asas-asas umum penyelenggara negara meliputi: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.
Dari rumusan pasal tersebut, kiranya dapat juga melengkapi dasar penilaian terhadap keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara oleh Hakim Tata Usaha Negara melalui rechstoepassing. Dasar atas penilaian tersebut dapat ditempatkan pada pasal 53 ayat (2) sub a UU No. 5 tahun 1986, yaitu keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ini merupakan langkah deduksi.
Perumusan dan penerapan AAUPB menjadi batas-batas penggunaan kewenangan badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Sebagai norma hukum, AAUPB itu mempunyai pengaruh pada tiga bidang, yaitu:
1. Pada bidang penafsiran dan penerapan dari ketentuan perundang-undangan.
2. Pada bidang pembentukan beleid pemerintahan dimana organ pemerintah diberi kebebasan kebijaksanaan oleh perundang-undangan atau tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan kebijaksanaan yang akan dilakukan itu.
3. Pada waktu pelaksanaan kebijaksanaan.
E. Penutup
Prasyarat esensial terwujudnya suatu negara kesejahteraan (Wefare Staats) adalah eksistensi strong and clean government. Analisis tentang perkembangan liberale rechstaat, menjadi sociale rechhstaat dipengaruhi oleh kebutuhan faktual perluasan tugas-tugas pemerintahan. Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang kian mengalami perluasan sesuai dengan keperluan menurut konteks sosialnya, memerlukan pengawasan yudisial.
Dalam negara kesejahteraan, tugas-tugas publik pemerintah semakin luas. Hal ini perlu diimbangi dengan adanya kontrol yudisial secara efektif terhadap penggunaan kewenangan Tata Usaha Negara melalui fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga akan membawa terciptanya aparatur negara yang bersih dan berwibawa menuju kepada tercapainya masyarakat yang dicita-citakan.
Adanya Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara yang dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman tidaklah perlu dikhawatirkan akan mengakibatkan kegiatan dan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah akan terlambat dan atau menjadi dibawah kekuasaan pengadilan, sebab yang dilakukan lembaga peradilan tata usaha negara adalah semata-mata dalam bidang kontrol legalitasnya saja (rechsmatiegheids controle), yang tidak meliputi kontrol sisi pertimbangan kebijaksanaan pemerintah (doelmatigheids controle), disamping itu masih terbukanya freies ermessen yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah sendiri, yang tidak boleh dinilai oleh Hakim.
Keterbatasan kewenangan absolut yang dimiliki badan Peradilan Tata Usaha Negara masih membuka kemungkinan celah belum sempurnanya pengawasan yudisial terhadap penggunaan kewenangan Tata Usaha Negara bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga memiliki jangkauan pengawasan yudisial yang lebih luas terhadap pemerintah. Maka Hakim Tata Usaha Negara dapat melakukan penemuan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai langkah induksi maupun penerapan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai langkah deduksi untuk merumuskan value yang dapat dijadikan pedoman penggunaan kewenangan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadjon, PM., 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hamidi, J., 1999, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Indonesia (Upaya Menuju Clean and Stable Government), Bandung: Citra Aditya Bakti.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lotulung, PE., 1993, Beberapa Catatan tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-un-dangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Armico.
Mangkoedilogo, Benyamin. 1982, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Orientasi Pengenalan, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marbun, SF., et al, 2002, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,”Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di dalamnya”. Yogyakarta: UII Press.
Martiman P., 1993, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Purbopranoto, Kuntjoro. 1982, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni
Riawan, W. Tjandra, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jogja: Universitas Atma Jaya.
Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Surabaya: Pustaka Tinta Mas